Bonus jalan-jalan dari ALLAH
Biasanya aku berlayar ke
ibukota kabupaten pas hari Sabtu. Sebab di hari itu kegiatanku biasanya
berlangsung. Malamnya aku harus menginap di kos saudari baruku. Esok harinya
baru kembali menuju pulau, tempatku bertugas. Namun di penghujung bulan ini,
jadwal keberangkatanku berubah, beralih ke hari Ahad. Tadinya aku sudah
berpikir untuk tidak pergi. Memikirkan transportasi, juga karena kondisi jasad
yang lumayan tidak begitu fit. Bukan dengan berat langkah, aku meminta rekan
untuk mengantarkanku ke pelabuhan speed.
“Ada atau tidak adanya nanti speed
itu urusan kesekian. Setidaknya aku sudah berikhtiar dulu sebelum memutuskan
untuk mengonfirmasi ke teman lainnya,” pikirku. Targetku jam 7.30 wib sudah
harus berangkat. Namun, harapan takkan selalu selaras dengan kenyataan. Lama
menunggu, penumpang belum juga ada yang datang. Di latar ini, kalau kita mau
bepergian biasanya menggunakan pompong (motor laut) atau speed, termasuk
sebatas menuju ibukota kabupaten. Kalau naik speed, penumpang minimal 5 atau 6
orang baru berlaku harga ongkos normal. Jika hanya 2 orang, biasanya sistem
carter, artinya berlaku penambahan ongkos dari harga yang biasanya.
Memanjangkan sabar sembari
mendengarkan cerita dari orang tua siswa yang sedang menunggu penumpang. Aku
lupa entah menit keberapa baru muncul 2 penumpang lainnya. Sementara waktu
telah menunjukkan pukul 08.30 wib. Aku mengomunikasikan dengan teman yang
lainnya. Alhamdulillah mendapat keringanan waktu, agenda diundur jam 09.00 wib.
Kembali menunggu, namun penumpung urung bertambah. Kembali ke pilihan terakhir,
penambahan ongkos. “Tak apalah,” pikirku. Yang penting hari ini bisa hadir
untuk agenda ini.
Ombak tidak begitu ganas
pagi itu. Hanya saja saat mendekati ibukota kabupaten, sesekali hempasan air
laut ke badan speed sangat terasa.
Dalam waktu 30 menit, perjalanan berakhir. Alhamdulillah
sampai dengan selamat.
Ini untuk pertama kalinya
aku hadir dengan keterlambatan yang paling lama. Tapi tidak apa, qodarallah.
Selepas kegiatan, tak banyak melangkah ke petualangan lainnya. Sebab masih
harus memikirkan kendaraan pulang. Tak ramai speed yang bertengger di
pelabuhan. Dan untuk menuju tempatku balik pun, sama sekali tidak ada. Aku
menuggu, hingga pandanganku beralih pada lelaki tua yang biasa mengantarkanku
jika ke ibukota kabupaten. Tapi sayangnya, kali ini lelaki tua itu tiak bisa
mengantarkanku sebab beliau masih harus mengantarkan penumpang yang telah
memanggilnya. Istilah kerennya “sudah dicarter”. Penumpangnya hanya satu, namun
barangnya banyak. Dengan loby ala diriku, akhirnya penumpangnya tidak
keberatan. Alhamdulillah.
“Kita ke Nongkat dulu ya,
ngantar bapak ini,” begitu kata lelaki tua itu.
“Iya, Encik tak apa,”
jawabku singkat.
“Saya diantar dulu ya Bu,
baru nanti Ibu,” ucap penumpang bertubuh kekar itu. Badannya kekar, namun sudah
tidak muda lagi.
“Iya Pak,” jawabku singkat.
Mendengar Nongkat, aku
seakan tidak percaya sore itu bahwa aku akan singgah disana. Sebab pulau
Nongkat termasuk salah satu pulau yang ramai dikunjungi saat musim liburan. Dan
nama pulau itu sudah kudengar sejak kemarin. Bahkan siswaku mengajak kesana,
namun belum kesampaian.
Aku menikmati hempasan
ombak, birunya lautan. Semakin dekat dengan pulau Nongkat, kebeningan semakin
tampak. Sampah-sampah pun tidak ada kelihatan. “Sungguh, beruntungnya hari ini,”
lirihku. Mungkin jika tadi pagi aku membatalkan perjalanan, takkan sampai ke
tempat ini,” senyumku merekah.
“Ibu sudah sampai di
Nongkat,’ ujar lelaki tua itu saat speed
berhenti. Aku tersenyum dan tak mampu berkata-kata. “Akhirnya sampai juga ke
tempat ini. Indah rencana Allah,” ucapku.
Sekembalinya, aku seperti
sedang berlibur bersama kakek sendiri.
“saya berdiri ya Encik,”
ucapku.
“Iya, ndok ape,” ujar Encik sambil terus fokus mengemudikan kendaraan.
Sesampainya di tujuan,
ongkos yang kusodorkan pun tidak diterima.
“Ndok ape, diambil ojo,’
ucap lelaki tua itu.
“Nikmat apa lagi yang Allah berikan ini?” Lagi, lagi dan lagi.
***
Aku sangat meyakini bahwa ketika
kita mendahulukan Allah, merendah di hadapanNya, memasrahkan padaNya, maka akan
ada kejutan yang datang dariNya.
Lingkaran cinta. Adalah jalanku untuk mengisi ruhiyah. Jarak yang lumayan jauh tentu saja terkadang menggoda untuk meminta izin. Namun kembali lagi pada niat. Tanpaku lingkaran itu tidak akan mengapa, namun tanpa lingkaran itu terasa hampa. Bukan lingkaran itu yang membutuhkanku, namun aku yang membutuhkannya. Aku selalu mengingat nasihat guruku. Meminta izin untuk lingkaran ini semestinya jika memang ada udzur yang tak ter-elakkan.
Pagi tadi, kondisi transportasi sudah menguji. Ingin memilih kembali dan izin saja hari ini. Namun, aku baru sadar itu sebagai ujian setelah kembali. Barangkali Allah ingin menguji keimananku, menguji seberapa bijak aku untuk menentukan pilihan dalam situasi yang sebenarnya tidak rumit namun juga tak mudah.
Lingkaran cinta. Adalah jalanku untuk mengisi ruhiyah. Jarak yang lumayan jauh tentu saja terkadang menggoda untuk meminta izin. Namun kembali lagi pada niat. Tanpaku lingkaran itu tidak akan mengapa, namun tanpa lingkaran itu terasa hampa. Bukan lingkaran itu yang membutuhkanku, namun aku yang membutuhkannya. Aku selalu mengingat nasihat guruku. Meminta izin untuk lingkaran ini semestinya jika memang ada udzur yang tak ter-elakkan.
Pagi tadi, kondisi transportasi sudah menguji. Ingin memilih kembali dan izin saja hari ini. Namun, aku baru sadar itu sebagai ujian setelah kembali. Barangkali Allah ingin menguji keimananku, menguji seberapa bijak aku untuk menentukan pilihan dalam situasi yang sebenarnya tidak rumit namun juga tak mudah.
Memilih untuk melanjutkan perjalanan. Bersua untuk saling menguatkan. Sekembalinya, Allah memberikan banyak bonus serta kesempatan untuk bisa menyinggagi salah satu pulau yang sedari kemarin hanya ada di telinga dan di angan. Aku kembali mengingat nasihat guruku. "Dahulukanlah Allah, maka Allah akan memudahkanmu". Sungguh, sangat benar adanya. Allah, Allah, Allah.
Wa ila rabbika farghob
Keep tawadhu
-Juniar Sinaga-
Komentar
Posting Komentar